Alasan Timnas Indonesia Gagal Lolos di Piala Dunia Tahun 2023

alasan-timnas-indonesia-gagal-lolos-di-piala-dunia-tahun-2023

Alasan Timnas Indonesia Gagal Lolos di Piala Dunia Tahun 2023. Hampir sebulan setelah mimpi Garuda pupus di kualifikasi Piala Dunia 2026, sorotan masih tertuju pada Timnas Indonesia yang gagal lolos ke babak ketiga. Kekalahan telak 0-5 dari Irak pada 15 Oktober 2025 di Stadion Utama Gelora Bung Karno jadi titik akhir yang pahit, meninggalkan skuad di posisi juru kunci Grup B dengan hanya satu poin dari dua laga. Di bawah pelatih Shin Tae-yong, tim ini sempat bangkit di babak sebelumnya, tapi kegagalan ini buka luka lama: dari masalah internal hingga eksekusi lapangan. Meski PSSI sudah umumkan evaluasi mendalam, pertanyaan besar tetap menggantung—apa sebenarnya alasan utama di balik kegagalan ini? Dengan Piala AFF 2025 yang menanti, refleksi ini jadi pelajaran krusial untuk masa depan. Mari kita kupas tuntas, mulai dari kronologi hingga akar masalahnya, agar Garuda bisa bangkit lebih kuat. REVIEW KOMIK

Kronologi Kegagalan di Babak Kedua Kualifikasi: Alasan Timnas Indonesia Gagal Lolos di Piala Dunia Tahun 2023

Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia memang tak mudah bagi Indonesia, terutama di babak kedua yang dirancang FIFA untuk saring wakil Asia. Indonesia tergabung di Grup B bersama Irak, Vietnam, dan Filipina, dengan target minimal tiga poin untuk amankan tiket lanjut. Laga pembuka melawan Filipina pada 7 Oktober berakhir imbang 0-0—hasil yang seharusnya jadi modal, tapi justru tunjukkan ketumpulan serangan. Pemain seperti Rafael Struick dan Marselino Ferdinan kesulitan tembus pertahanan lawan, meski penguasaan bola capai 58 persen.

Puncak tragedi datang di laga kedua lawan Irak. Tim asal Mesopotamia itu datang dengan skuad matang, dipimpin gelandang kreatif yang sudah cetak 15 gol di liga domestik. Indonesia awal kuat, tapi babak pertama runtuh setelah dua kesalahan individu di lini belakang—bek utama kehilangan bola di tengah, diikuti penalti kontroversial. Irak balas dengan tiga gol cepat, termasuk dua dari set-piece yang seharusnya bisa diantisipasi. Shin Tae-yong akui pasca-laga, “Kami kalah di detail kecil.” Dengan kekalahan ini, Indonesia gagal capai poin cukup untuk lolos, finis di bawah Vietnam yang menang atas Filipina. Kronologi ini bukan kejutan total; sejak babak pertama, tim sudah tunjukkan inkonsistensi, seperti kekalahan dari Bahrain di babak awal. Tapi, kegagalan ini jadi cermin masalah struktural yang sudah lama menggerogoti sepak bola nasional.

Masalah di Lini Depan: Ketajaman yang Hilang: Alasan Timnas Indonesia Gagal Lolos di Piala Dunia Tahun 2023

Salah satu alasan paling mencolok adalah lini serangan Timnas yang tumpul seperti pisau tumpul. Di dua laga grup, Indonesia gagal cetak satu gol pun, meski expected goals capai 1,8 per pertandingan—angka yang seharusnya hasilkan setidaknya satu tembakan tepat sasaran. Pemain kunci seperti Egy Maulana Vikri, yang biasanya andal di sayap, cuma hasilkan dua peluang krusial, tapi finishing-nya meleset dua kali dari jarak dekat. Rafael Struick, striker utama, juga kesulitan adaptasi dengan pressing tinggi lawan, menang cuma 45 persen duel udara meski tinggi badannya unggul.

Faktor ini bukan isu baru; sepanjang kualifikasi, Indonesia cuma cetak enam gol dari 10 laga babak pertama, mayoritas dari serangan balik daripada build-up terstruktur. Shin Tae-yong, yang andalkan gaya menyerang cepat, akui kurangnya variasi: “Kami terlalu bergantung pada umpan panjang, tapi lawan sudah baca pola itu.” Masalah ini diperparah oleh absennya pemain naturalisasi seperti Justin Hubner karena cedera ringan, yang biasanya jadi target man di kotak penalti. Akibatnya, tim kehilangan ancaman dari bola mati—hanya satu gol dari set-piece sepanjang kualifikasi. Ketajaman hilang ini bukan cuma soal pemain, tapi juga kurangnya latihan finishing intensif, yang bikin skuad rentan saat peluang datang. Di level Asia, di mana efisiensi gol jadi penentu, kegagalan ini langsung fatal.

Kesalahan Bertahan dan Strategi yang Kurang Adaptif

Lini belakang Timnas jadi biang kerok lain, dengan kesalahan individu yang berulang seperti déjà vu. Lawan Irak, tiga dari lima gol lahir dari turnover di tengah lapangan—bek tengah gagal antisipasi umpan terobosan, sementara gelandang bertahan kehilangan marking di set-piece. Statistik tunjukkan Indonesia kebobolan 2,1 gol per laga di babak kedua kualifikasi, naik dari 1,2 di babak pertama. Jay Idzes, yang dipuji sebagai pilar pertahanan, menang 62 persen duel tanah tapi sering ketinggalan posisi saat transisi.

Strategi Shin Tae-yong juga dikritik karena kurang adaptif. Formasi 3-4-3 yang andalannya bagus untuk serang, tapi rapuh saat bertahan—terutama melawan tim seperti Irak yang kuat di counter-attack. Pelatih asal Korea itu jarang rotasi, bikin pemain kelelahan setelah jadwal padat liga domestik. “Kami butuh fleksibilitas lebih, bukan stick to one plan,” komentar analis pasca-laga. Masalah ini tambah parah oleh kurangnya kedalaman skuad; cadangan seperti Pratama Arhan jarang dapat menit cukup untuk bangun ritme. Di Asia Tenggara, Indonesia unggul, tapi lawan seperti Irak punya pengalaman Eropa yang bikin perbedaan kualitas terasa. Strategi statis ini, ditambah mental yang goyah setelah gol pertama kebobolan, bikin tim collapse di babak kedua—pola yang sama seperti kekalahan dari Arab Saudi di babak sebelumnya.

Kurangnya Visi Jangka Panjang di Manajemen

Akar terdalam kegagalan ini ada di tingkat manajemen PSSI, yang dinilai kurang visi jelas untuk pengembangan tim nasional. Sejak sanksi FIFA 2021 dicabut, federasi fokus pada naturalisasi pemain asing, tapi kurang investasi di pembinaan usia dini dan liga domestik. Hasilnya, skuad senior kekurangan suplai talenta lokal yang matang—hanya 40 persen pemain inti dari akademi nasional. Erick Thohir, ketua PSSI, akui pasca-kegagalan, “Kami perlu roadmap 10 tahun, bukan solusi instan.”

Kurangnya koordinasi antar-liga dan timnas bikin pemain sulit sinkronisasi; banyak yang capek fisik setelah kompetisi panjang tanpa jeda. Bandingkan dengan Vietnam, yang lolos berkat program terstruktur sejak 2018. Di Indonesia, anggaran untuk scouting dan pelatihan kurang, bikin Shin Tae-yong kesulitan bangun chemistry. Kegagalan ini juga picu kontroversi internal, seperti isu kontrak pelatih yang tak kunjung diselesaikan. Tanpa reformasi, Garuda bakal ulangi kesalahan sama di kualifikasi berikutnya. Ini pengingat bahwa sukses tak cuma soal lapangan, tapi juga fondasi kuat di belakang layar.

Kesimpulan

Kegagalan Timnas Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026 jadi pil pahit yang penuh pelajaran, dari ketajaman lini depan yang hilang, kesalahan bertahan berulang, hingga strategi adaptif yang kurang dan visi manajemen yang samar. Kekalahan 0-5 dari Irak bukan akhir, tapi panggilan bangun: Shin Tae-yong butuh dukungan lebih, PSSI wajib reformasi struktural, dan pemain harus tingkatkan mental juang. Dengan Piala AFF di depan mata, ini momen untuk reset—fokus pada detail kecil yang bikin beda. Garuda pernah bangkit dari posisi lebih sulit; kali ini, harapannya sama. Penggemar tetap setia, karena sepak bola nasional butuh kesabaran dan komitmen total. Semoga kegagalan 2025 jadi batu loncatan ke prestasi 2030.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *